BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Dyscalculia
Dyscalculia
adalah gangguan belajar yang mempengaruhi kemampuan matematika. Seseorang
dengan Dyscalculia sering mengalami kesulitan memecahkan masalah matematika dan
menangkap konsep-konsep dasar aritmatika. Dyscalculia adalah ketidakmampuan
seorang anak dalam menyerap konsep
aritmatika. Aturan yang digunakan untuk pendidikan khusus Dyscalculia beragam
dari negara ke negara. Pada awal penilaiannya, siswa akan mengalami kesulitan
yang terlihat signifikan dalam aritmatika, lalu baru dapat ditegakkan
diagnosisnya dengan melalui serangkain tes, sebelum pada akhirnya akan
diberikan pengajaran khusus. Siswa dengan gejala Dyscalculia ini sulit di
diagnosis terutama mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah Negeri, dikarenakan
lemahnya standar pengukuran kerangka kerjadan kriteria.
Sebagian besar, orang yang mengalami
Dyscalculia atau kesulitan dalam Matematika mempunyai kesulitan dalam proses
visual. Pada beberapa kasus, pada bagian pemrosesan dan pengurutan, matematika
memerlukan seperangkat prosedur yang harus diikuti dalam pola yang urut, hal
ini juga berkaitan dengan kurangnya memory (memory deficits). Mereka
yang mengalami kesulitan mengingat benda-benda/angka, akan mengalami kesulitan
mengingat urutan operasi (order of operations) yang harus diikuti atau
langkah-langkah pengurutan tertentu yang harus diambil untuk memecahkan
soal-soal matematika. Dyscalculia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut
gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat
ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan
akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini
biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang
melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Dyscalculia
adalah kesulitan dalam belajar atau memahami matematika (termasuk tentang
simbol- simbol matematika). Hal ini mirip dengan disleksia. Dyscalculia juga
bisa terjadi sebagai hasil dari cedera otak.
Dyscalculia
awalnya diidentifikasi, dalam studi kasus, dengan pasien yang menderita
ketidakmampuan dalam aritmatika tertentu sebagai akibat kerusakan daerah
tertentu dari otak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dyscalculia dapat juga
terjadi dengan perkembangan, bisa terhubung secara genetis yang mempengaruhi
ketidakmampuan seseorang untuk memahami, mengingat, atau memanipulasi fakta
angka atau nomor (misalnya, tabel perkalian). Istilah ini sering digunakan pada
ketidakmampuan untuk melakukan operasi aritmatika, tetapi juga ditentukan oleh
beberapa ahli pendidikan dan psikolog kognitif yang lebih fundamental sebagai
ketidakmampuan untuk mengonsep nomor sebagai konsep- konsep abstrak kuantitas komparatif
(defisit dalam “arti angka”). Definisi dyscalculia kadang- kadang lebih suka
menggunakan istilah teknis “Disability Arithmetic” (AD) untuk merujuk pada
perhitungan dan memori yang defisit.
Dyscalculia
kurang dikenal sebagai kecacatan, sama halnya dan berpotensi dihubung-
hubungkan dengan disleksia dan perkembangan dyspraxia. Dyscalculia terjadi pada
orang di seluruh tingkatan IQ, dan penderita sering kali, tetapi tidak selalu,
juga mengalami kesulitan mengatur waktu, ukuran, dan penalaran ruang/tempat.
Perkiraan saat ini yang menunjukkan hal itu mungkin berpengaruh sekitar 5% dari
populasi. Meskipun beberapa peneliti percaya bahwa dyscalculia perlu penalaran
matematis, secara tidak langsung menyatakan sebagai kesulitan dalam
pengoperasian aritmatika, buktinya (terutama dari pasien yang mengalami
kerusakan otak) bahwa kemampuan aritmetika (misalnya fakta perhitungan dan
jumlah memori) dan matematika (penalaran abstrak dengan angka) dapat
dipisahkan. Itu adalah (beberapa pendapat para peneliti) bahwa seorang individu
memang bisa mengalami kesulitan aritmatika (atau dyscalculia), tanpa gangguan,
atau kemampuan penalaran matematis yang abstrak.
Kata
dyscalculia berasal dari Yunani dan Latin yang berarti: “menghitung dengan
buruk”. Awalan “dys” berasal dari bahasa Yunani dan berarti “buruk”. “Calculia”
berasal dari bahasa Latin “calculare“, yang berarti “menghitung”. Kata
“calculare” berasal dari “kalkulus”, yang berarti “kerikil” atau salah satu
perhitungan pada sempoa.
B. Gangguan
Belajar
Gangguan
Belajar (Learning Disorder) adalah suatu gangguan
neurologis yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses, menganalisis
atau menyimpan informasi. Anak dengan Gangguan Belajar mungkin mempunyai
tingkat intelegensia yang sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan
teman sebayanya, tetapi seringberjuang untuk belajar secepat orang di sekitar
mereka. Masalah yang terkait dengan kesehatan mental dan gangguan belajar yaitu
kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran, serta
keterampilan motorik dan masalah dalam matematika.
Pengertian gangguan belajar secara
bahasa adalah masalah yang dapat mempengaruhi kemampuan otak dalam menerima,
memproses, menganalisis dan menyimpan informasi. Sedangkan pengertian yang
diberikan oleh National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD)
mengenai gangguan belajar adalah suatu kumpulan dengan bermacam-macam gangguan
yang mengakibatkan kesulitan dalam mendengar, berbicara, menulis, menganalisis,
dan memecahkan persoalan. Gangguan belajar termasuk klasifikasi beberapa
gangguan fungsi di mana seseorang memiliki kesulitan belajar dengan cara yang
khas, biasanya disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui. Istilah
Ketidakmampuan belajar dan gangguan belajar sering digunakan secara bergantian,
keduanya berbeda. Ketidakmampuan belajar adalah ketika seseorang memiliki
masalah belajar yang signifikan di bidang akademis. Masalah-masalah ini,
bagaimanapun, tidak cukup untuk menjamin diagnosis resmi. Gangguan belajar, di
sisi lain, adalah diagnosis klinis resmi, dimana individu memenuhi kriteria
tertentu, sebagaimana ditentukan oleh seorang profesional (psikolog, dokter
anak, dll) Perbedaannya adalah dalam tingkat, frekuensi, dan intensitas gejala
yang dilaporkan dan masalah, dan dengan demikian keduanya tidak boleh bingung.
Faktor yang tidak diketahui adalah
gangguan yang mempengaruhi kemampuan otak untuk menerima dan memproses
informasi. Gangguan ini bisa membuat masalah bagi seseorang untuk belajar
dengan cepat atau dalam cara yang sama seperti seseorang yang tidak terpengaruh
oleh ketidakmampuan belajar. Orang dengan ketidakmampuan belajar mengalami
kesulitan melakukan jenis tertentu keterampilan atau menyelesaikan tugas jika
dibiarkan mencari hal-hal dengan sendirinya atau jika diajarkan dengan cara
konvensional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab
Dyscalculia
Sebuah jalur perkembangan menyatu
ketika anak berusaha untuk memahami dan menerapkan matematika di sekolah.
Seiring waktu, tuntutan kurikulum matematika memaksakan ketegangan meningkat
pada perkembangan sistem saraf dan membedakan. Levine dan ‘rekan-16 subkomponen
Model membantu memperjelas penyebab masalah melakukan matematika dan membantu
mengevaluasi gangguan belajar matematika subkomponennya dari model meliputi:
- Belajar fakta
·
Hampir semua prosedur matematika melibatkan tubuh
mendasari kodrat faktual. Fakta matematika meliputi tabel perkalian, penambahan
dan pengurangan sederhana, dan berbagai equivalencies numerik.
·
Tahap awal pembelajaran matematika sekolah dasar
umumnya menempatkan ketergantungan pada memori hafalan sebagai seorang anak
berusaha untuk menggabungkan volume besar dari fakta-fakta matematika. Setelah
fakta-fakta yang hafal, anak kemudian harus terlibat dalam pengambilan
konvergen, fakta harus ingat tepatnya pada permintaan.
·
Seorang siswa SD kemudian harus maju ke recall
sepenuhnya otomatis dari fakta-fakta matematika. Misalnya, saat melakukan
masalah aljabar, mahasiswa diwajibkan untuk mengingat prinsip-prinsip
penambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian akurat dan detail yang tepat
·
Siswa SD yang menghadapi kesulitan adalah mereka yang
memiliki masalah pada awalnya menghafal fakta-fakta matematika, mereka yang
berbeda, pola tepat memori pengambilan, dan mereka yang memiliki kesulitan
mengingat fakta-fakta matematika, yang memperlambat kemampuan mereka untuk
menghitung. Siswa-siswa ini kemudian mengalami kesulitan dengan masalah yang
lebih canggih pemecahan, sehingga prestasi matematika di tingkat sekolah
menengah.
- Memahami rincian
·
Matematika perhitungan sarat dengan detail halus
(misalnya, urutan nomor di lokasi, masalah yang tepat dari, tanda desimal
operasional yang tepat [+, -]) terdiri dari jantung masalah matematika.
Perhatian yang tinggi terhadap detail diperlukan seluruh operasi matematika.
·
Anak-anak yang paling mungkin untuk menghadapi masalah
dengan perhitungan matematika di tingkat ini adalah mereka yang memiliki
defisit perhatian dan mereka yang impulsif dan kurangnya pemantauan diri.
·
Seorang mahasiswa dengan attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD) mungkin muncul untuk memahami fakta-fakta, tetapi
kurangnya bahwa siswa perhatian terhadap detail menciptakan kinerja keseluruhan
miskin.
- Menguasai prosedur
·
Selain fakta menguasai matematika, seorang siswa harus
mampu mengingat prosedur tertentu (misalnya, algoritma matematika). Algoritma
ini meliputi proses yang terlibat dalam perkalian, pembagian, pengurangan
pecahan, dan regrouping.
·
Sebuah pemahaman yang baik tentang logika yang
mendasari mereka meningkatkan recall dari prosedur tersebut.
·
Pada tingkat fungsi, anak-anak dengan masalah
sequencing mengalami kesulitan yang signifikan mengakses dan menerapkan
algoritma matematika.
- Menggunakan manipulasi
·
Dengan bertambahnya pengalaman dan keterampilan, usia
sekolah anak harus dapat memanipulasi fakta, detail, dan prosedur untuk memecahkan
masalah matematika yang lebih kompleks, sebuah proses yang membutuhkan
mengintegrasikan beberapa fakta dan prosedur dalam tugas pemecahan masalah yang
sama.
·
Tindakan manipulasi membutuhkan sejumlah besar
pemikiran-ruang atau aktif-kerja memori. Misalnya, pemecahan masalah sering
membutuhkan siswa untuk mengingat nomor dan menggunakannya nanti. Siswa harus
dapat memahami mengapa mereka menggunakan nomor dan kemudian menggunakannya.
Siswa juga harus mampu memanipulasi subkomponen tugas.
·
Siswa dengan terbatas aktif bekerja mengalami
kesulitan memori yang cukup menggunakan manipulasi.
- Mengenali pola
·
Matematika menghadapkan siswa dengan berbagai macam
pola berulang. Pola dapat terdiri dari kata kunci atau frase yang terus-menerus
muncul dari masalah kata dan menghasilkan petunjuk penting tentang prosedur
yang diperlukan.
·
Siswa sering harus mampu membuang perbedaan
superfisial dan mengenali pola yang mendasari, sebuah proses yang menciptakan
masalah bagi siswa dengan cacat pengenalan pola.
- Berkaitan dengan kata-kata
·
Tanpa pertanyaan, penguasaan matematika membutuhkan
akuisisi kosakata matematika yang agak tangguh (misalnya, denominator,
pembilang, sama kaki, sama sisi). Sebagian besar kosakata ini bukan bagian dari
percakapan sehari-hari dan, karenanya, harus dipelajari tanpa bantuan petunjuk
kontekstual.
·
Anak-anak yang lambat memproses kata-kata dan yang
lemah dalam semantik bahasa goyah pada tingkat ini.
- Menganalisis kalimat
·
Bahasa matematika adalah unik dalam arti bahwa seorang
siswa diharapkan dapat menarik kesimpulan dari masalah kata dinyatakan dalam
kalimat. Kalimat pemahaman yang tajam dan pengetahuan kosakata matematika
diperlukan untuk memahami penjelasan dari buku-buku dan instruktur.
·
Anak-anak dengan cacat bahasa mungkin merasa bingung
dan bingung dengan instruksi lisan dan oleh tugas tertulis dan tes.
- Pengolahan gambar
·
Materi pelajaran matematika banyak disajikan dalam
gambar dan dalam format visual-spasial. Geometri membutuhkan interpretasi tajam
perbedaan dalam bentuk, ukuran, proporsi, hubungan kuantitatif, dan pengukuran.
·
Siswa juga harus mampu menghubungkan bahasa dan angka,
sedangkan trapesium persyaratan dan persegi harus membangkitkan pola desain
dalam pikiran siswa.
·
Anak-anak dengan kelemahan dalam persepsi visual dan
memori visual mungkin mengalami kesulitan dengan subkomponen matematika.
- Melakukan proses logis
·
Pada tingkat sekolah menengah, penggunaan proses logis
dan meningkatkan penalaran proporsional. Firman masalah (misalnya, jika …
kemudian, baik … atau) membutuhkan penalaran yang cukup dan logika.
Konsep-konsep ini juga digunakan dalam mata pelajaran lain seperti kimia dan
fisika.
·
Anak-anak yang tertinggal dalam memperoleh
keterampilan penalaran proposisional dan proporsional mungkin kurang mampu
melakukan perhitungan langsung dan masalah kata yang penalaran permintaan.
Siswa-siswa ini secara berlebihan dapat mengandalkan memori hafalan.
- Memperkirakan solusi
·
Bagian penting dari proses penalaran, dan masalah bagi
anak-anak kurang keterampilan ini, adalah kemampuan untuk memperkirakan jawaban
atas masalah.
·
Kemampuan untuk memperkirakan solusi untuk masalah
matematika sering menunjukkan pemahaman anak tentang konsep-konsep yang
diperlukan untuk memecahkan masalah.
- Konseptualisasi dan menghubungkan
·
Memahami konsep membentuk dasar dari masalah
matematika beberapa (misalnya, 2 sisi persamaan harus sama, pecahan dan
persentase sering sama).
·
Anak-anak dengan kemampuan konseptualisasi miskin
sering mengalami kesulitan dalam matematika sekolah menengah, mereka mungkin
tidak dapat menghubungkan konsep dan hanya memiliki pengetahuan yang
terpisah-pisah matematika yang berlaku.
- Mendekati masalah sistematis
Kemampuan memecahkan masalah adalah
kemampuan kompleks yang memerlukan pendekatan strategis yang sistematis, yang
melibatkan langkah-langkah berikut:
·
Mengidentifikasi pertanyaan
·
Buang informasi yang tidak relevan
·
Merancang strategi yang mungkin
·
Pilih strategi terbaik
·
Cobalah strategi yang
·
Gunakan strategi alternatif, jika diperlukan
·
Memantau seluruh proses Impulsif anak yang gagal untuk
menggunakan pendekatan yang sistematis dan tidak diri-monitor seluruh proses
tidak mungkin untuk melakukan tugas dengan cara, terkoordinasi eksekutif
berfungsi.
- Mengumpulkan kemampuan
·
Matematika sangat kumulatif. Sebuah hirarki
pengetahuan dan keterampilan harus dibangun dari waktu ke waktu. Informasi yang
dipelajari di kelas yang lebih rendah harus dipertahankan untuk penggunaan masa
depan. Siswa dapat menghargai teorema Pythagoras hanya sebatas bahwa mereka
mengingat definisi segitiga siku-siku.
·
Beberapa anak tampaknya mengalami kesulitan
mengembangkan memori kumulatif dan recall. Mereka mungkin memiliki masalah
dalam mata pelajaran lain selain matematika yang juga memerlukan recall
kumulatif (misalnya, ilmu pengetahuan, bahasa asing).
- Menerapkan pengetahuan
·
Anak-anak harus mampu mewujudkan relevansi matematika
untuk belajar dan digunakan dalam sehari-hari kehidupan.
·
Siswa dapat memahami relevansi ini mungkin menemukan
matematika alien atau tidak relevan.
- Kecemasan
·
Kekhawatiran, kecemasan, atau fobia adalah komplikasi
umum dari cacat dalam matematika.
·
Reaksi-reaksi ini dapat disebabkan oleh salah satu
cacat di atas atau mungkin berakar dalam ketakutan penghinaan diulang di kelas.
- Memiliki ketertarikan untuk subjek
·
Beberapa anak memiliki afinitas alami untuk
matematika. Anak-anak ini mungkin memiliki model peran yang kuat dengan
afinitas untuk matematika, atau anak-anak sendiri memiliki kemampuan
konseptualisasi yang kuat.
·
Siswa dengan hubungan alamiah untuk matematika mungkin
sangat menyadari kohesi subyek dan dapat melihat keindahan matematika dan
keanggunan.
B. Tanda dan
gejala Dyscalculia
Menurut
Lerner yang dikutip Mulyono Abdurrahman, ada
beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar
matematika, yaitu: (1) adanya gangguan dalam
hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi
visual, (3) asosiasi visual-motor, (4)
perserverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami
simbul, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7)
kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) performance IQ
jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ.
a.
Adanya gangguan dalam hubungan keruangan
Konsep
hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat,
tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir
umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat
mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh
pemahaman tentang berbagai konsep hubungan
keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam
berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai
permainan. Anak berkesulitan belajar sering
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan
lingkungan sosial juga sering tidak mendukung
terselenggarakannya suatu situasi dan kondusif
bagi terjalinnya komunikasi antar mereka. Adanya
kondisi intrinsik yang diduga karena
disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa
lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya
komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami
konsep-konsep hubungan keruangan yang mengakibatkan
anak tidak mampu merasakan jarak antara
angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan
mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke
angka 6.
b.
Abnormalitas
persepsi visual
Anak
berkesulitan belajar matematika sering mengalami
kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam
hubungannya dengan kelompok. Anak yang memiliki
abnormalitas persepsi visual juga sering
tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujur sangkar mungkin
dilihat oleh anak sebagai empat garis
yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam,
dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas
persepsi visual semacam ini tentu saja
dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar
matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol.
c.
Asosiasi
visual-motor
Anak
berkesulitan belajar matematika sering tidak
dapat mengitung benda-benda secara berurutan
sambil menyebutkan bilangannya “satu, dua, tiga, empat,
lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah
mengucapkan “lima”, atau sebaliknya, telah
menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan ”tiga”. Anak-anak
semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa
memahami maknanya.
d.
Perserverasi
Anak yang
perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif
lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perverasi (Mulyono
Abdurrahman). Anak demikian mungkin mulanya dapat
mengerjakan tugas dengan baik, tetapi
lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu.
contohnya:
- 4 + 3 = 7
- 4 + 4 = 8
- 5 + 4 = 8
- 3 + 6 = 8
e.
Kesulitan mengenal dan memahami simbul
Anak
berkesulitan belajar matematika sering mengalami
kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol atematika seperti +, -,
=, >, <, dan sebagainya. Kesulitan
semacam ini dapat disebabkan oleh adanya
gangguan memori tetapi juga dapat
disebabkangangguan memori tetapi juga dapat
disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.
f.
Gangguan penghayatan tubuh
Anak sulit
memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak
diminta untuk menggambar tubuh orang
misalnya, mereka akan menggambarkan dengan
bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau
menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah.
Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan
sebagianya.
g.
Kesulitan
dalam bahasa dan membaca
Kesulitan
dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang
matematika. Soal matematika yang berbentuk
cerita menuntut kemampuan membaca untuk
memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang
mengalami kesulitan membaca akan mengalami
kesulitan pula dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk
cerita tertulis.
h.
Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal
IQ.
Hasil tes
inteligensi dengan menggunakan WISC (Weshler Intelligence Scale for Children)
menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki PIQ
(Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ
(Verbal Intelligence Quotient). Sub tes verbal mencakup: Informasi, persamaan,
aritmetika, perbendaharaan kata, dan emahaman. Sub tes kinerja mencakup:
melengkapi gambar, menyusun gambar, menyusun balok, dan menyusun obyek.
C. Cara
Mendeteksi Dyscalculia Secara Dini
Deteksi Dyscalculia bisa dilakukan
sejak kecil, tapi juga disesuaikan dengan perkembangan usia.
- Anak usia 4- 5 tahun biasanya belum diwajibkan mengenal konsep jumlah, hanya konsep hitungan
- Anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah mulai dikenalkan dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penambahan (+) dan pengurangan (-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit mengenali konsep jumlah, maka kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan berhitung. Proses berhitung melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.
Faktor genetik mungkin berperan pada
kasus Dyscalculia, tapi faktor lingkungan dan simulasi juga bisa ikut
menentukan. Alat peraga juga sangat bagus untuk digunakan, karena dalam
matematika menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak. Jadi, supaya lebih
konkret digunakan alat peraga sehingga anak lebih mudah mengenal konsep
matematika itu sendiri.
D. Cara
Menangani Dyscalculia
- Penanganan Gangguan Belajar Matematika harus dimulai di awal karir pendidikan anak. Sayangnya, gangguan belajar matematika biasanya tidak disadari dan sulit dideteksi cukup dini atau manajemen ditunda sampai masalah lain (misalnya, bahasa cacat) yang ditangani.
- Banyak anak menganggap matematika sebagai subjek terbatas ketat untuk kelas matematika dan pekerjaan rumah. Remediasi awal dari gangguan belajar matematika sangat penting untuk memastikan pengakuan anak signifikansi matematika ‘tidak hanya di kelas tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan informasi baru tersedia untuk membaca gangguan (RDS), strategi baru yang dirancang untuk pendidik untuk membimbing dan membantu siswa meningkatkan nonperforming tersedia. Pekerjaan masih diperlukan untuk mengidentifikasi masalah dasar dengan gangguan belajar matematika, yang akan membantu menciptakan strategi yang lebih baik untuk membantu anak-anak. Sementara itu, pedoman berikut ditunjukkan untuk membantu anak-anak dengan cacat ini meresap.
- Perbanyak contoh-contoh konkrit untuk memastikan pemahaman yang kuat sebelum melangkah kepada konsep yang abstrak. Hal ini akan membantu untuk memberikan strategi untuk memvisualisasikan konsep. Ketika mengerjakan soal cerita, berikan kesempatan kepada anak untuk membayangakan situasi kehidupan sehari-hari atau alat yang membantunya memvisualisasikan sebuah bentuk, konsep, atau pola.
- Berikan kesempatan untuk menggunakan gambar, grafik, kalimat, atau kartu untuk membantu dalam hal pemahaman soal. Hubungkan permasalahannya dengan contoh kehidupan sehari-hari.
- Kembangkan sebuah konsep diri bahwa ‘saya bisa’, sesering mungkin. JANGAN katakan, “Ibu/Ayah tidak pandai matematika, tak heran kamu pun begitu”. Ingatlah, dengan suasana yang baik, (tutoring, one to one support) dan sikap yang positif, semua orang pintar matematika !
- Gunakan pendekatan yang positif untuk mengenalkan konsep dasar. Kartu atau permainan komputer untuk menguasai konsep awal sampai dengan 20 dan tabel perkalian akan sangat berguna. 10 menit sehari akan berhasil.
- Berikan bantuan dalam mempelajari simbol-simbol matematika dan bahasa matematika. Contohnya, pikirkan tentang simbol ‘-’ (minus) berarti ‘pergi’ atau ‘hilang’, dan simbol ‘+’ berarti ‘datang’ atau ‘muncul’. Simbol ‘-’ bisa juga berarti ‘mengurangi’, bisa juga pecahan, atau juga bilangan bulat negatif.
- Remediasi menuntut kerjasama erat antara guru kelas reguler dan mereka yang terlibat dalam mendukung perbaikan. Banyak anak dengan prestasi dalam matematika yang memenuhi syarat untuk secara hukum diamanatkan pelayanan pendidikan khusus di sekolah umum. Perbedaan luas yang diamati dalam persyaratan layanan, dan kualitas dan intensitas pelayanan nyata bervariasi antara masyarakat. Mengidentifikasi cacat dari setiap siswa dan menangani itu di tingkat individu masih penting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Dyscalculia adalah kesulitan dalam belajar atau
memahami matematika (termasuk tentang simbol- simbol matematika)
·
Dyscalculia dapat terdeteksi pada usia dini dan
langkah- langkah yang dapat diambil untuk meringankan masalah yang dihadapi
oleh yang lebih muda. Masalah utamanya adalah dengan memahami cara ber-
matematika yang diajarkan kepada anak- anak
·
Dyscalculia dapat diatasi dengan cara konseling dan
pendekatan
B. Saran
- Kepada para guru agar dapat mengenal para siswa yang mengalami Dyscalculia di dalam kelas
- Guru harus memberikan konseling dan pendekatan khusus kepada siswa yang mengalami Dyscalculia
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulrahman Mulyono, 2003, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Rineka Cipta
http://ajenganjar.blogspot.com.
Mengenal Gangguan Belajar Dyscalculia,
2012, (Online)
Djokosetio,
Sidiarto Lily. 2007. Perkembangan Otak
dan Kesulitan Belajar Pada Anak. Jakarta : Universitas Indonesia.